Udang Kuluyuk

Malam itu pasangan suami istri itu sedang asyik menonton tv di rumah, mereka Sukro dan Surti. Ditengah keasyikan tersebut mereka selingi dengan beberapa obrolan ringan.

Sambil menyelonjorkan kakinya, Sukro bertanya “Mau makan malam apa Ma?”.
“Perutku lagi enek Pa, sepertinya makan bihun goreng enak nih”, jawab Surti yang memang sedang mengandung, dan lagi mual-mualnya.

“Selain bihun goreng, makanan lain apa lagi yang mau?”, tanya Sukro sekali lagi. “Udang kuluyuk kayaknya enak juga Pa, tapi nanti makannya pas panas-panas gitu, kalau sudah dingin suka eneg juga apalagi sausnya memang rada kental”, Surti menyahut sambil membayangkan nikmatnya makan nasi hangat plus udang kuluyuk ngebul.

“Ya sudah, kalau gitu si Tirno aku minta beli udang kuluyuk dan martabak aja ya buat lauk malam ini”.
“Ya”, jawab Surti.

Waktu terus berlalu, tak terasa sudah 1 jam lebih. “Tirno pasti dah dateng nih”, gumam Sukro. Dan benar, tak berapa lama ada bunyi berisik Tirno di dapur yang menandakan makanan yang dipesan sudah datang.

“Mau makan sekarang Pa?”, tanya Surti. “Ya”.

Surti beranjak ke dapur untuk mengambil makanan untuk makan malamnya bersama suami. Sesampai di dapur, Surti memasak air dulu untuk membuat kopi dan minuman markisa panas. Sambil menunggu air masak, dilihatnya makanan yang ada diatas meja dapur. “Lho, kok tongseng dan fuyung hai?”, gumam Surti kebingungan, karena makanan yang direncanakan tak sesuai kenyataan.

Surti kecewa, karena makanan yang ada justru makanan yang menambah ke-eneg-annya. Apakah si Tirno salah beli? pikir Surti.

Ah, sebaiknya dikonfirmasi dulu dengan suaminya, karena yang meminta Tirno adalah suaminya, Sukro.

“Pa, tolong ke dapur bentar Pa, bantuin bawa”. “Sebentar”, jawab Sukro.

Ketika Sukro sudah sampai di dapur, Surti segera bertanya, “Pa, itu udang kuluyuk apa fuyung hai, Pa?”. Sukro memeriksa makanan itu sebentar, lalu menyahut, “Udang kuluyuk”.

Udang Kuluyuk

“Pa, itu bukan udang kuluyuk, itu fuyung hai”, gemas Surti.

Fuyung Hai

“Tolong bantuin bawa Pa, aku gak bisa bawa semua”, pintanya. “Ya, nanti Papa yang bawa minumnya”, jawab Sukro.

Surti keluar dari dapur lebih dulu sambil membawa makanan mereka. Didengarnya sambil lalu, Sukro bertanya pada Tirno, makanan yang tadi dibeli apa? Udang kuluyuk apa fuyung hai. Samar didengar Surti, Tirno menyahut “Udang kuluyuk, Mas”.

Hmmm, Surti hanya bisa menarik nafas panjang. Ok lah, kalau memang Tirno sudah bilang pada penjualnya mau beli udang kuluyuk, meskipun jadinya sama penjualnya dikasihnya malah fuyung hai.

Tapi masih ada tanda tanya di hati Surti, bukannya tadi rencananya mau makan malam dengan lauk martabak dan udang kuluyuk, tapi jadinya malah tongseng dan fuyung hai. Surti ingin tahu, memangnya tadi Sukro pesan ke Tirno minta dibelikan apa?

“Tadi aku dengar Papa bilang mau udang kuluyuk dan martabak, memangnya tadi pesan apa ke Tirno?”, tanya Surti. “Bukannya tadi denger sendiri, Tirno bilang itu udang kuluyuk!” jawab Sukro dengan pandangan mata tajam pada Surti seolah Surti diminta diam, jangan banyak tanya, mau melawan ha?

Memang sejak mengetahui udang kuluyuk yang dinantikan tak jadi muncul, bahkan yang muncul adalah fuyung hai, Surti memang kecewa, karena makanan itulah yang diharapkan Surti bisa mengurangi ke-eneg-annya, sehingga ia bisa makan tanpa mau muntah. Dan Surti memang tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya pada raut wajahnya yang mendadak lesu. Selain itu, mengapa martabak juga berubah wujud jadi tongseng?

Namun kalimat yang meluncur dari Sukro sangat membuatnya kaget, tak menduga tatapan Sukro begitu dingin seolah ingin menelannya hidup-hidup. Surti tak lagi berminat melanjutkan pertanyaannya.

Dia hanya diam dan kecewa. Bahkan tanpa diundangnya air mata menetes dengan derasnya dari kedua matanya. Surti tak ingin menangis, namun sepertinya luapan sedih dihatinya hanya bisa dimengerti oleh matanya yang menangis seolah mewakili apa yang ada dihati dan ingin disampaikannya.

Sukro tetap melanjutkan kalimatnya, “Gak mau makan? Mau beli udang kuluyuk? Ayo beli.” Sebuah tawaran solusi yang sebenarnya mungkin ok, namun caranya bicara dan tatapan tajamnya, siapa yang mau dengan tatapan seperti itu. Seperti mau mengajak bertarung.

Surti hanya bisa bilang “sudah, sudah, kalau memang pesennya udang kuluyuk, tapi jadinya fuyung hai, ya sudah, aku capek”, seraya meninggalkan Sukro dan berjalan menuju kamar. Dalam hati Surti bilang, bukankah sudah beberapa kali mereka makan udang kuluyuk, namun masih saja tak tahu mana yg disebut udang kuluyuk. Apa memang tidak memperhatian? Ah hal sepele begini mengapa merusak malam yang damai.

Surti masih tak dapat mengerti, mengapa situasi menjadi panas begini. Surti hanya ingin tidur dan menghilang sejenak melupakan semua yang terjadi. Bunyi lapar diperutnya tak lagi dirasa, hanya sedih yang menyapa.

Posted with WordPress for BlackBerry.

3 respons untuk β€˜Udang Kuluyuk’

Add yours

  1. huahuahua πŸ˜€
    itu nama yg keren ya ving πŸ˜€
    hehe… hayo.. kalo sudah bingung mana kisah nyata dan mana fiksi… berarti cerpenku sukses xixixixi

    tunggu cerpenku berikutnya ya… ada 10 cerpen yg blom sempet diupload, perlu dirapiin/revisi lagi hihihihi

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑